OJK Perkuat Ketahanan Industri Perbankan Syariah Lewat Dua POJK Baru

Gedung kantor pusat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta. OJK menerbitkan dua POJK baru guna memperkuat ketahanan dan daya saing industri perbankan syariah nasional.

GIMIC.ID, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan dua Peraturan OJK (POJK) terbaru yang ditujukan untuk memperkuat ketahanan dan daya saing industri perbankan syariah nasional. Kedua aturan ini diharapkan memperkokoh struktur permodalan, likuiditas, dan pendanaan jangka panjang Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS).

Dua aturan tersebut yaitu POJK Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio/LCR) dan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio/NSFR) bagi BUS dan UUS, serta POJK Nomor 21 Tahun 2025 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pengungkit (Leverage Ratio) bagi BUS.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, dalam keterangannya menyebutkan, penerbitan dua aturan ini merupakan bagian penting dari implementasi Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023–2027, khususnya pada Pilar I yang fokus pada penguatan struktur dan ketahanan industri perbankan syariah.

“OJK berkomitmen menjaga stabilitas dan daya saing industri perbankan syariah nasional agar mampu tumbuh sehat, efisien, dan berdaya saing global,” ujar pejabat OJK tersebut dalam keterangan resmi, Jumat (31/10/2025).

Melalui POJK Nomor 20 Tahun 2025, OJK mewajibkan BUS dan UUS untuk senantiasa memelihara rasio LCR dan NSFR minimal sebesar 100 persen dengan penerapan secara bertahap. Ketentuan ini memastikan ketersediaan likuiditas jangka pendek dan pendanaan jangka panjang yang stabil sehingga bank syariah lebih siap menghadapi dinamika ekonomi dan volatilitas pasar.

OJK juga mengatur pelaporan dan publikasi rasio tersebut secara bertahap mulai tahun 2026 hingga 2028, selaras dengan kesiapan industri. Aturan ini disusun berdasarkan standar internasional Basel III dan Islamic Financial Services Board (IFSB) untuk memastikan keselarasan dengan praktik terbaik global (best practices).

Selain memperkuat likuiditas, aturan ini juga menjadi bagian dari implementasi Pilar V RP3SI, yakni penguatan pengaturan, perizinan, dan pengawasan perbankan syariah.

Sementara itu, POJK Nomor 21 Tahun 2025 mengatur kewajiban pemenuhan rasio pengungkit (leverage ratio) bagi BUS untuk memperkuat struktur permodalan. Dengan adanya rasio ini, BUS diharapkan dapat mengelola ekspansi bisnis secara proporsional terhadap kapasitas modal tanpa bergantung pada pembobotan risiko aset (risk-weighted assets).

POJK tersebut mensyaratkan BUS memelihara leverage ratio minimum sebesar 3 persen dengan pelaporan pertama pada posisi akhir triwulan I tahun 2026 dan publikasi mulai September 2026.

“Dengan leverage ratio, industri diharapkan lebih disiplin dalam mengelola struktur permodalan dan mampu menghadapi berbagai skenario ekonomi tanpa mengganggu fungsi intermediasi,” ungkap OJK.

Kedua POJK ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat fondasi industri perbankan syariah Indonesia agar lebih tangguh menghadapi risiko likuiditas dan tekanan global. Dengan struktur keuangan yang lebih sehat, BUS dan UUS diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, memperluas akses pembiayaan, serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gimic.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaUj0IA0LKZLdsktWS3G. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Gimic.id

(G-H2) 

Komentar

Loading...