1. Beranda
  2. Hukum
  3. News

Oleh: Uan Haleluddin Dalimunthe, S.H

Menempatkan Penolakan Koperasi Baru Register 40 dalam Bingkai Hukum

Oleh ,

 Uan Haleluddin Dalimunthe, S.H., penulis opini yang menyoroti pentingnya kepastian hukum dalam pembentukan koperasi baru pasca eksekusi lahan Register 40.

GIMIC.ID, MEDAN -  Penolakan terhadap pembentukan koperasi baru pasca eksekusi lahan Register 40 perlu ditempatkan secara jernih, objektif, dan berpijak pada kerangka hukum yang berlaku. Polemik yang berkembang di tengah masyarakat kerap dibungkus dengan narasi emosional, seolah-olah pembentukan koperasi baru merupakan bentuk perampasan hak rakyat. Padahal, jika ditelusuri secara yuridis, persoalan ini justru berangkat dari realitas hukum yang tidak dapat diabaikan.

Negara telah melaksanakan eksekusi lahan Register 40 berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Sejak eksekusi tersebut dilakukan, status lahan secara hukum tidak lagi berada dalam penguasaan entitas lama, melainkan kembali sepenuhnya menjadi tanah negara. Dengan demikian, seluruh bentuk pengelolaan sebelumnya secara hukum telah berakhir.

Dalam konteks itu, pembentukan koperasi baru oleh negara atau atas persetujuan negara tidak dapat dipandang sebagai tindakan sewenang-wenang. Sebaliknya, langkah tersebut merupakan konsekuensi logis dari perubahan status hukum tanah. Negara memiliki kewenangan konstitusional untuk menata ulang pengelolaan tanah negara agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Menolak koperasi baru tanpa dasar hukum yang sah pada hakikatnya sama dengan menolak realitas hukum yang telah diputuskan oleh pengadilan. Hukum tidak memberi ruang bagi penguasaan abadi atas tanah negara hanya karena alasan historis, kebiasaan lama, atau klaim sepihak. Kepastian hukum harus ditempatkan di atas kepentingan kelompok tertentu.

Penting pula ditegaskan bahwa koperasi bukanlah hak turun-temurun yang melekat pada tanah. Koperasi adalah instrumen ekonomi, bukan alat klaim kepemilikan. Ketika status tanah berubah, maka wajar dan sah jika negara melakukan penataan ulang terhadap instrumen pengelolaannya. Menolak koperasi baru sambil mengabaikan fakta eksekusi negara bukanlah bentuk perjuangan keadilan, melainkan cerminan ketidakpatuhan terhadap hukum.

Lebih jauh, kehadiran koperasi baru justru dapat menjadi sarana koreksi terhadap berbagai praktik lama yang selama ini dipersoalkan, seperti ketertutupan pengelolaan, konflik internal, hingga ketimpangan distribusi manfaat ekonomi. Apabila koperasi lama memang berjalan secara adil, transparan, dan akuntabel, seharusnya tidak ada ketakutan untuk berkompetisi secara sehat atau beradaptasi dalam sistem baru yang dibentuk secara sah oleh negara.

Publik juga perlu bersikap kritis terhadap narasi penolakan yang dibungkus atas nama “hak rakyat”, namun sejatinya bertujuan mempertahankan struktur lama yang telah kehilangan dasar hukumnya. Perjuangan rakyat tidak boleh dijadikan tameng untuk menolak putusan pengadilan dan kewenangan negara. Dalam negara hukum, emosi dan romantisme sejarah tidak boleh mengalahkan kepastian hukum.

Pada titik ini, koperasi baru bukanlah musuh rakyat. Justru sebaliknya, koperasi baru dapat menjadi pintu legal agar masyarakat tetap memperoleh manfaat ekonomi secara sah di atas tanah negara, tanpa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang konflik, ketidakpastian, dan potensi pelanggaran hukum. Keadilan sosial hanya dapat terwujud apabila berjalan seiring dengan kepastian hukum yang dihormati bersama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gimic.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaUj0IA0LKZLdsktWS3G. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Gimic.id
(G-H2)

Baca Juga