Oleh: Irsyad Muchtar
Gus Dur, Koperasi, dan Dilema Intervensi Negara

GIMIC.ID, JAKARTA – Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, dikenal sebagai sosok pemimpin dengan pemikiran yang kerap melampaui zamannya. Salah satu langkah kontroversialnya saat menjabat Presiden RI (1999–2001) adalah rencana pembubaran tiga kementerian: Departemen Penerangan, Departemen Sosial, dan Departemen Koperasi.
Menurut Gus Dur, ketiganya sebaiknya dikembalikan ke ruang publik. Namun, hanya dua yang benar-benar dibubarkan. Departemen Koperasi urung dilepas karena kuatnya desakan berbagai pihak yang meyakini koperasi masih perlu peran negara untuk pembinaan.
Meski begitu, Gus Dur tetap menyampaikan kritik tajam terhadap nasib koperasi di Indonesia. Ia menilai koperasi tak kunjung menjelma sebagai badan usaha sejati lantaran terlalu kuat dikendalikan negara. Padahal, menurutnya, koperasi harus mampu mandiri dan bergerak secara komersial—tanpa terus-menerus “dininabobokan” oleh konotasi sosial dan fasilitas murah dari pemerintah.
Warisan Pemikiran yang Tak Lekang
Pandangan Gus Dur sejalan dengan akar sejarah kelahiran koperasi itu sendiri. Di Inggris—tempat koperasi pertama kali muncul—ide ini lahir bukan dari kelas pekerja yang tertindas, melainkan dari kalangan pemilik modal yang berpandangan maju. Robert Owen, seorang pemilik pabrik tenun di Manchester, adalah sosok kapitalis yang menyadari pentingnya kemanusiaan dalam relasi industrial.
Owen memperjuangkan hak-hak buruh melalui pendekatan kolektif. Ia mengurangi jam kerja, menaikkan upah, dan memberi akses pendidikan bagi keluarga buruhnya. Menurut Owen, koperasi adalah jalan untuk menegakkan keadilan sosial, bukan sekadar mencari laba.
Puluhan tahun kemudian, pandangan ini dipertegas oleh ekonom Inggris E.F. Schumacher dalam bukunya Small is Beautiful. Dalam pidatonya di Africa Bureau, London, tahun 1966, Schumacher menegaskan bahwa pembangunan tidak dimulai dari modal atau barang, melainkan dari manusia: pendidikan, organisasi, dan disiplin mereka.
Koperasi dan Tantangan Mandiri
Di Indonesia, benih kesadaran koperasi juga lahir bukan dari perlawanan kelas pekerja, melainkan dari birokrasi yang peduli terhadap pegawainya. Raden Aria Wiriatmadja, seorang Patih di Purwokerto, pada 1896 mendirikan lembaga keuangan untuk melindungi para pegawai dari rentenir. Meski bukan koperasi dalam pengertian formal, inisiatif itu dianggap cikal bakal lahirnya gagasan koperasi di Tanah Air.
Namun justru karena akar sosialnya yang kuat, koperasi di Indonesia kerap terjebak dalam narasi "tolong-menolong" semata. Label sosial yang melekat, sering kali membuat koperasi menjauh dari prinsip dasar sebagai entitas bisnis. Padahal, seperti yang diingatkan Hans Munkner dalam Chances of Co-operatives in the Future, koperasi tetap butuh kelayakan ekonomi agar bisa optimal melayani anggotanya.
Inilah dilema besar koperasi: bagaimana menjaga keseimbangan antara nilai sosial dan kelangsungan komersial. Sebab, segala sesuatu yang bernuansa komersial sering kali dituding menggerus nilai kebersamaan. Sebaliknya, nilai kebersamaan pun sering dicurigai beraroma ideologi kiri, yang kini terminologinya sudah kabur sejak runtuhnya tembok Berlin.
"Kalau Sudah Mandiri, Ya Sudah"
Gus Dur punya cara khas menyederhanakan segala persoalan. Ketika ditanya bagaimana mengukur keberhasilan koperasi, ia menjawab ringan: “Kalau koperasi sudah tidak perlu bantuan pemerintah, itu artinya sudah maju. Gitu aja kok repot.”
Kalimat sederhana itu menyimpan makna besar: bahwa koperasi sejati adalah yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri—tanpa intervensi, tanpa ketergantungan, tapi tetap berpihak pada kesejahteraan anggota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Gimic.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaUj0IA0LKZLdsktWS3G. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Gimic.id
(G-Hu)
Komentar